Film
fiksi ilmiah aksi-petualangan dari Steven Spielberg, Ready Player One, berlatar di dunia
nyata dan realitas virtual; jadi tak heran jika dua tokohnya membicarakan
perbedaan antara kedua dunia.
Yang
luar biasa adalah tokoh-tokoh tersebut berdiskusi di tengah-tengah adu tembak
sengit dalam diskotek tanpa gravitasi – tapi entah bagaimana Anda tetap dapat
mengikuti argumen mereka maupun jalannya pertempuran.
Sungguh
mempesona. Belakangan ini, generasi baru sutradara telah membuat penghormatan
pada film-film populer Spielberg (misalnya dalam Super 8, Jurassic World, dan Stranger Things); namun Ready Player One membuktikan
dengan pasti bahwa tak ada yang bisa meniru Spielberg selain Spielberg.
Selain Spielberg,
tak ada yang lebih berempati dengan anak Amerika dari keluarga yang broken home. Tak ada orang
selain Spielberg yang menjejali adegan dengan begitu banyak informasi, atau
runtunan aksi yang rumit dengan begitu banyak energi, sambil memastikan Anda
selalu tahu apa yang sedang terjadi dan kenapa.
Dan
Spielberg tak hanya bersaing dengan para penirunya dan dirinya sendiri di tahun
1980-an. Ia melesat ke Abad 21.
Seiring
alur cerita filmnya yang spektakuler berjalan bolak-balik antara distopia kumuh
ala George Orwell dan dunia mimpi yang diciptakan oleh komputer, ia menjajal
wilayah yang dikuasai Terry Gilliam, James Cameron, Christopher Nolan, dan
Wachowski bersaudara, juga sutradara The Lego Movie. Ia tak sekadar menjejakkan kakinya, tapi juga menunjukkan
kalau wilayah ini memang miliknya sejak dulu.
Diangkat
dari novel laris karya Ernest Cline, dengan naskah yang ditulis oleh Cline dan
Zak Penn, Ready
Player One berlatar di tahun 2045. Sang jagoan yang yatim-piatu, Wade (Tye
Sheridan), tinggal di kompleks perumahan kumuh yang karut-marut bernama The
Stacks, tempat bangunan pencakar langit tersusun dari rumah-rumah kontainer
yang ditumpuk dan disangga dengan menggunakan rangka.
Latar ini
biasanya cukup untuk kebanyakan film, tapi tak lama kemudian Wade mengenakan
helm dan sarung tangan realitas virtual (VR) dan 'menyeberang' ke OASIS, suatu
game bermain peran online.
Tampaknya
banyak orang menghabiskan sebagian besar waktu mereka dalam permainan ini.
Kondisi Amerika di tahun 2045 begitu buruk sehingga masuk ke dunia fantasi
digital tempat Anda bisa hidup dalam setiap film yang pernah Anda tonton adalah
keputusan yang masuk akal.
Pada
kesempatan pertama menonton, saya menemukan King Kong, monster dari Alien, mobil DeLorean
dari Back
to the Future, dan boks telepon/mesin waktu Tardis dari Doctor Who, Tyrannosaurus dari Jurassic Park (sesama film
Spielberg), dan sekitar 50 ikon budaya pop lainnya. Tapi film ini mengajak Anda
untuk menontonnya berulang kali, dengan tombol jeda, sampai Anda menemukan
semua referensinya. Setiap adegan bagaikan permainan 'Where's Wally?' bagi para
pengunjung konvensi komik.
Adalah hal yang
wajar, ketika orang berada di OASIS, mereka cenderung memilih avatar yang lebih
langsing, tinggi, dan umumnya kurang manusiawi dari wujud asli mereka. Wade
menjadi alien ganteng berkulit biru-putih bernama Parzival, dan punya
kawan-kawan antara lain cewek anime Art3mis (Olivia Cooke) dan cyborg raksasa
Aech (Lena Waith); mereka belum pernah bertemu di dunia nyata.
Mereka
menikmati sensasi virtual memanjat Gunung Everest, mengunjungi casino di
stasiun ruang angkasa, menembak musuh dengan senapan mesin, dan balapan di
jalanan kota Manhattan dengan mobil canggih; tapi mereka juga punya misi
spesifik yang harus dituntaskan.
OASIS,
kita kemudian diberi tahu, dirancang oleh seorang jenius yang rapuh, James
Halliday (Mark Rylance), dan rekan bisnisnya, Ogden Morrow (Simon Pegg).
Halliday meninggal dunia, tapi ia meninggalkan 'Easter egg' di OASIS: siapapun
yang bisa menyelesaikan tiga tantangan di dalam game berhak menguasai seluruh
perusahaannya yang bernilai triliunan dolar.
Nolan
Sorrento (Ben Mendelsohn), bos dari perusahaan saingan, mengerahkan seluruh
sumber dayanya untuk memecahkan teka-teki Halliday, dibantu oleh anak buahnya
yang seram tapi juga kekanak-kanakan bernama i-R0k (TJ Miller) – seorang troll di dunia maya,
secara harfiah. Tapi pengetahuan kutu buku Wade/Parzival dan kawan-kawannya
membuat mereka lebih unggul. Apapun kata orang tua mereka, menghabiskan masa
kecil di depan layar sebenarnya persiapan yang bagus masa depan.
Premis
yang rumit tapi bisa dimengerti ini berarti, sebagian besar dari Ready Player One diisi dengan
adegan Wade bermain video game: pada salah satu level, kita menyaksikan Wade
bermain video game di dalam video game. Tapi Spielberg dan timnya bisa
meyakinkan kita untuk mempedulikan apa yang terjadi, baik di dalam OASIS maupun
di dunia nyata.
Meskipun sang
protagonis pada dasarnya adalah tokoh kartun yang dibuat dengan CGI, meluncur
dari satu planet artifisial ke planet artifisial lainnya dengan kecepatan
tinggi, film ini membuat pernyataan menarik tentang iklan korporasi, internet,
dan hasrat manusia untuk tampak lebih besar dan lebih baik dari sebenarnya:
avatar Sorrento bahkan mirip dengan Superman.
Beberapa
penonton mungkin akan dibuat bosan dengan narasi yang terpisah dari realitas
selama bagian besar durasi. Tapi tidak sulit meyakini bahwa pada suatu hari
nanti kita semua akan berada dalam game seperti OASIS – mungkin jauh lebih awal
dari tahun 2045.
Meski
begitu, Ready
Player One membuat saya merasa sedikit kasihan pada anak-anak muda zaman
sekarang, karena mereka begitu jarang menyaksikan film fantasi baru yang tidak
merujuk film-film lama. Dulu, Anda tak perlu melalui semacam ujian kutu buku
untuk menikmati Back
to the Future, sementara film-film Star Wars dan Marvel sekarang berasumsi
penonton telah memiliki pengetahuan mendalam tentang berbagai film, serial
televisi, video game, buku, dan komik.
Tapi
saya pikir Spielberg menyadari betapa memusingkannya pesta nostalgia seperti
ini. Meski bernama OASIS, dunia itu bukanlah tempat yang damai dan tenang
melainkan berantakan dan melelahkan.
Lagipula
jika ada film yang bisa secara terbuka menunjukkan kekacauannya adalah Ready Player One, yang jelas
dimaksudkan sebagai perayaan besar-besaran akan budaya fanboy dan fangirl. Jika budaya pop
memakan dirinya sendiri, maka Ready Player One adalah kenduri besar-besaran.
Anda juga
bisa berarguman bahwa Spielberg adalah pelopor referensi semacam ini. Saya
masih ingat menonton ET:
The Extra-Terrestrial ketika pertama kali dirilis, dan terkejut ketika ET menemukan
seorang anak yang mengenakan kostum Yoda (dari Star Wars) saat Halloween.
Bagaimana bisa satu film fiksi ilmiah blockbuster membuat lelucon tentang film fiksi ilmiah blockbuster lain? Saya, yang
waktu itu masih muda, pun takjub.
Tiga
puluh lima tahun kemudian, Spielberg membuat saya, yang sudah tidak begitu muda
lagi, kembali merasa takjub.
No comments:
Post a Comment